Lelaki muda itu langsung menggebrak meja kerjanya dengan keras. Tampak kekesalan yang teramat dalam di raut wajahnya.
“Sampai kapan orang tua itu baru mau menyerah?!”
Dua orang berpakaian rapi yang berdiri di hadapan lelaki muda itu hanya tertunduk lesu. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani menjawab.
“Pokoknya … aku tidak mau tau! Gubuk Reyot itu harus segera digusur atau kalian akan aku pecat!”
“Baik, Tuan,” jawab dua orang berpakaian rapi itu serentak. Mereka kemudian beranjak pergi meninggalkan tuannya yang masih dikuasai amarah.
Setelah meninggalkan gedung kantor tempat mereka bekerja, kedua orang yang berpostur tubuh berbeda itu kemudian mengunjungi sebuah restoran untuk makan siang sambil membahas masalah gubuk reyot yang sudah enam bulan ini tidak menemukan titik penyelesaian.
“Pak, bagaimana kita akan mengatasi masalah ini? Orang tua itu benar-benar keras kepala,” tanya si Gemuk kepada rekannya.
“Tenang saja! Aku sudah punya cara untuk membuat orang tua itu bungkam selamanya,” jawab si Kurus sambil menyeringai.
“Caranya?”
“Nanti Kamu akan lihat sendiri. Kamu hanya perlu mengikuti arahanku.”
“Terus, uang satu milyar untuk membayar tanah orang tua itu, bagaimana?”
“Kamu ini, kalau persoalan uang pasti gak mau ketinggalan,” jawab si Kurus sedikit ketus, “Orang tua itu tidak akan membutuhkannya lagi.”
Si Gemuk mengernyitkan dahi, “Maksud Bapak?”
Saat si Kurus hendak menjelaskan rencananya kepada si Gemuk, dua orang pelayan restoran tiba-tiba datang membawa makanan dan menghidangkannya di depan mereka.
Setelah para pelayan restoran itu beranjak dari sana, si Kurus kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga si gemuk dan membisikkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua terkekeh penuh bahagia.
“Tapi-tapi-tapi …,” ucap si Gemuk yang tiba-tiba meragukan sesuatu.
“Tapi apa?” tanya si Kurus kesal.
“Bisakah dia dipercaya?”
“Bisalah! Siapa, sih, yang tidak mau uang?”
“Tapi … dia, kan-“
“Sudah! Biar aku yang setel. Kamu tenang aja!”
Si Gemuk akhirnya menurut dan mengiyakan ucapan si Kurus.
*
Suasana hening menyelimuti kediaman Pak Rahman. Hanya bunyi jangkrik dari balik batu gunung, bata merah, kerikil dan material bangunan lainnya yang sesekali menyapa gendang telinga orang tua itu.
Belasan gedung pencakar langit yang masih dalam proses pengerjaan mengapit gubuk reyot Pak Rahman hingga membuat gubuk itu tersembunyi.
Seorang pemuda dengan penampilan yang tampak bersahaja menghampiri Pak Rahman, “Kek … kenapa nggak kita ambil aja uang satu milyar itu dan kita segera pindah dari sini? Dengan uang sebanyak itu, kita bisa membeli rumah baru dan sisanya kita masukkan di bank. Kita bisa hidup hanya dengan menerima bunganya,” tutur pemuda itu.
Si kakek yang tengah sibuk menggulung tembakau langsung bereaksi mendengar ucapan pemuda yang tak lain adalah cucunya itu, “Apa?! Kamu mau kita hidup dengan memakan uang haram?”
“Kita bisa gunakan uang itu untuk membeli sawah di tempat lain, Kek. Lagian, sampai kapan kita bisa bertahan? Semua orang udah lama meninggalkan tempat ini. Hidup mereka sudah enak sekarang. Ada yang membeli rumah mewah, beli mobil, kebun, sawah dan ada juga yang membuka usaha menggunakan uang itu. Tinggal kita aja yang terus bertahan.”
“Mereka itu penghianat.”
Si cucu mengernyitkan dahi, “Kok, jual tanah sendiri dibilang penghianat, sih, Kek?”
Mata Pak Rahman melotot mendengar pertanyaan cucunya, “Diam kau, Guntur!”
“Tapi aku takut para pengusaha itu akan melakukan hal jahat jika kita terus menolak permintaannya.”
“Sekali bilang tidak, tetap tidak! Tanah ini milik leluhurku! Sampai kapan pun tak akan kuserahkan kepada siapa pun.”
Pemuda itu hanya bisa mendengus kesal mendengar jawaban kakeknya, “Kalau begitu, tinggal saja di tempat ini sampai kakek mati. Yang penting aku sudah mengingatkan.” Pemuda itu kemudian membanting pintu cukup keras, lalu pergi membawa kekesalan di hatinya karena tidak berhasil membujuk sang kakek.
Pak Rahman menghela napas panjang. Sebenarnya ia cukup mengerti dengan keinginan cucunya itu. Ia juga ingin merasakan nyamannya hidup. Hanya saja, ia tidak ingin melanggar amanah yang diberikan oleh mendiang ayahnya.
“Ini tanah pusaka kita. Jangan pernah kamu jual ke orang lain, apalagi ke orang asing! Jangan jadi penghianat! Lebih baik mati berkalang tanah dari pada menyerahkan sejengkal tanah leluhur. Lebih baik hidup miskin dari pada tunduk kepada orang asing.”
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Pak Rahman. Ya, kata-kata itulah yang pernah dilontarkan oleh Pak Karim–ayah kandung Pak Rahman—menjelang kematiannya.
Pak karim adalah seorang pejuang kemerdekaan yang dikenal sangat gigih dan tak mengenal rasa takut, berbanding terbalik dengan sifat cucu-cucunya.
Setelah menengok keluar jendela sejenak, Pak Rahman kemudian merebahkan tubuh ringkihnya di atas sofa usang sambil menghisap sebatang rokok yang baru saja ia bakar. Isapan demi isapan ia nikmati sambil merenungkan nasibnya yang ditinggal istri, anak dan terakhir, cucunya.
“Salahkah jika aku mempertahankan hakku?” lirihnya sambil meletakkan puntung rokok di tangannya ke dalam asbak. Ia kemudian mencoba memejamkan mata.
Dinginnya angin malam yang menerobos masuk melalui lubang-lubang dinding tak lagi dirasakan oleh Pak Rahman. Ia sudah larut dalam mimpinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Pak Rahman terus terlelap. Ia tidak menyadari adanya bahaya yang sedang mendekat.
Seluruh dinding luar rumahnya yang terbuat dari papan sudah dilahap si jago merah. Entah apa penyebabnya hingga api itu cepat merambat. Pak Rahman hanya bisa mengucapkan dua kalimat saat menemukan dirinya sudah terperangkap di tengah-tengah kepungan api.
“Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadarosulullah.”
Sementara itu, sang cucu beserta dua orang lainnya sedang berdiri dengan mengenakan topeng tidak jauh dari rumah Pak Rahman.
Dua orang itu tersenyum puas, sedangkan sang cucu hanya memandang datar ke arah cahaya api yang membumbung tinggi menerangi langit malam. Mungkin bagi mereka, kebakaran yang menimpa rumah Pak Rahman adalah pertunjukan yang layak untuk ditonton, melebihi indahnya kembang api di perayaan tahun baru.
Pak Rahman terus mengucapkan dua kalimat syahadat. Hingga badannya tersambar api pun, ia terus mengucapkan kalimat itu–bahkan hingga ajal menjemputnya.
Hanya dalam waktu belasan menit, gubuk reyot itu kini sudah menjadi puing-puing. Tak ada mobil kebakaran yang datang memadamkan api. Tak ada warga yang berduyun-duyun menyiramkan air. Hanya tiga orang manusia bej*t yang menonton kisah akhir dari seorang kakek yang dihianati oleh cucunya.
Kini Pak Rahman telah beristirahat. Tanah leluhur yang ingin ia pertahankan kini berhasil dirampas orang. Meski begitu, setidaknya ia telah berhasil mempertahankan tanah itu hingga maut menjemputnya. Dari itu, tidak akan ada yang akan mencapnya penghianat. Akhirnya ia pulang ke pangkuan-Nya.