Scroll untuk baca berita
News

Agar Uang Panai Tidak Menjadi Haram, MUI Sulsel Mengeluarkan Fatwa

78
×

Agar Uang Panai Tidak Menjadi Haram, MUI Sulsel Mengeluarkan Fatwa

Sebarkan artikel ini

 

Ilustrasi Uang Panai


Skroll untuk Melanjutkan
Advertising

 

MAKASSAR, DOMAINRAKYAT.com – Uang Panai atau biaya pernikahan adalah budaya suku Bugis-Makassar yang memang kerap menjadi masalah besar. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan  (Sulsel) mengeluarkan fatwa terkait ‘uang panai’ tersebut agar tidak menjadi haram.

Fatwa uang panai ini diputuskan sejak 1 Juli 2022 dan ditandatangani oleh Rusydi Khalid (Ketua MUI Sulsel), Syamsul Bahri Abd Hamid (Sekretaris MUI Sulsel), Najamuddin (Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Sulsel), Muammar Bakry (Sekretaris Umum Dewan Pimpinan MUI Sulsel).

Rusydi Khalid menjelaskan, uang panai hukumnya mubah atau dibolehkan. Namun uang panai sebagai budaya suku Bugis-Makassar jangan sampai melanggar syariah tentang pernikahan.

“Uang panai itu bisa jadi haram kalau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Prinsip syariah pernikahan itu seperti mempermudah dan tidak memberatkan pihak pria, memuliakan wanita, jujur, serta tidak ada manipulatif,” jelasnya.

Rusydi mengatakan, fatwa uang panai tidak menyebut nominal dan tidak mengatur besarannya. Meski begitu, fatwa menyebutkan bahwa uang panai harus kesepakatan kedua belah pihak (pihak calon mempelai pria dan calon mempelai wanita).

“Untuk jumlahnya dikondisikan secara wajar dan sesuai kesepakatan kedua pihak. Itu bentuk komitmen, tanggung jawab suami, dan bentuk tolong-menolong dalam rangka menyambung silaturahmi kedua pihak,” katanya.

Dia berharap fatwa ini bisa membawa keberkahan bagi calon kedua mempelai. Selain itu, uang panai juga tidak lagi menjadi penghalang bagi masyarakat untuk menikah.

“Kita semua ingin keberkahan, makanya kita rekomendasikan agar uang panai juga diberikan ke lembaga infaq resmi,” harapnya.

Budayawan Sulawesi Selatan, Prof Dr Nurhayati Rahman yang juga Dosen Universitas Hasanuddin ini mengaku budaya tidak perlu di dikte dengan munculnya fatwa. Pasalnya, budaya uang panai merupakan kesepakan kedua bela pihak calon mempelai dan tidak ada unsur paksaan.

Nurhayati menjelaskan, uang panai sudah dilaksanakan oleh suku Bugis-Makassar sejak dulu. Di mana sebelum acara lamaran, ada negosiasi yang dilakukan kedua bela pihak.

“Uang panai itu sudah dilakukan oleh orang tua jaman dulu dan tidak ada yang memberatkan pihak laki-laki. Jadi ada negosiasi sebelumnya yang datang berbicara sebagai pihak ketiga. Jadi intinya tidak ada yang diberatkan, karena di bicarakan sebelumnya kemampuan pihak laki-laki,” jelasnya.

Nurhayati mencontoh, banyak pernikahan yang saling bantu antara pihak laki-laki dan perempuan. Di mana, kemampuan pihak laki-laki tidak mencukupi biaya pesta sehingga pihak perempuan membantu untuk mencukupinya.

“Jadi tidak bisa secara universal jika satu kasus dan jangan mengambil contoh uang panai yang besar. Karena ada juga orang yang uang panaiknya hingga miliaran, karena memang kemampuannya sebagai pengusaha atau sebagai orang kaya atau keturunan. Tapi banyak juga orang yang menikah hanya Rp 25 jutaan saja,” bebernya.

Nurhayati mengaku jika saat ini pengaruh hedonis memang sedang melanda sehingga uang panai terkesan memberatkan. Namun hal itu bukan karena pengaruh budaya semuanya.

“Dari fatwa MUI Sulsel soal Itu, saya rasa infaq nilai positifnya. Tapi yang lainnya itu sudah dilaksanakan dari jaman dulu sama seperti apa yang ada dalam fatwa,” terangnya.

Ikuti berita Domainrakyat.com melalui Google News, klik di sini

 

 

    

Lihat berita dan Artikel Domainrakyat.com di Google News dan WhatsApp Channel