DomainRakyat.com – Selamat datang di kawasan adat Ammatoa, tugu yang memisahkan kawasan adat Ammatoa Kajang dengan wilayah lain disekitarnya. Pada tugu ini maka dimulailah perjalanan kami menuju kawasan adat Ammatoa Kajang. Sekitar ±12 km perjalanan kami menuju kawasan adat Ammatoa.
Ruang lingkup wilayah kawasan adat Ammatoa berada di Desa Tana Toa. Tana Toa merupakan kata serapan dari bahasa konjo yang berarti “Tanah yang tua”.
Desa Tana Toa menjadi wilayah tempat bermukimnya sekelompok masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari adat Kajang. Wilayah tersebut terbagi dalam dua pembagian wilayah adat yakni Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya, dan memiliki arti didalam dan diluar.
Memasuki wilayah adat, kami harus melepas alas kaki kami dan mengenakan kain serba hitam yang merepresentasikan kehidupan “Kamase-mase”. Kamase-mase dalam bahasa konjo berarti kesederhanaan. Hidup yang berdampingan dengan alam dan menutup diri dari perkembangan zaman yang tak hanya alas kaki dan gaya berpakaian, listrik pun tidak terdapat di wilayah ini.
Suku kajang sangat memegang tradisi nenek moyang mereka yang dikenal dengan “Pappasang” yang merupakan hukum aturan yang tidak boleh dilanggar oleh suku Kajang.
Setelah berjalan ±2km tanpa alas kaki dengan jalan bebatuan, kami menemukan permukiman warga dan rumah tamu suku Kajang yang saling berdampingan. Identik dengan rumah panggung yang unik, kenapa unik domainers? Karena semua rumah di suku Kajang hanya menghadap pada satu arah saja, yakni arah barat. Konon, arah barat dianggap sebagai simbol dari nenek moyang suku Kajang berada.
Selain itu, rumah-rumah yang ditemukan di suku Kajang memiliki bentuk yang serupa, dengan dinding dan 16 tiang yang terbuat dari kayu dan atap yang terbuat dari daun rumbia yang dianyam. Pagar dari bambu yang khas semakin membawa kami pada kehidupan kamase-mase dari hiruk pikuk kehidupan modern dan perkotaan.
Tak jarang, kami berpapasang dengan beberapa orang suku Kajang ditengah perjalanan kami. Sungguh, sangat ramah. Kami disuguhkan banyak senyum keramahan selama perjalanan kami dan tegur sapa dari suku Kajang. Tak terasa, kami sampai pada tujuan kami. Pada salah satu rumah warga yang melakukan ritual Akattere’.
Akattere’ merupakan ritual adat pemotongan rambut yang dilakukan oleh suku kajang bagi yang mampu. Ritual ini jika diluar kajang biasanya dikenal dengan “Aqiqah” yang merupakan sunnah muakkad yang harus diutamakan pelaksanaannya.
Salah satu toko masyarakat suku Kajang, yang berinisial TP menjelaskan bahwa awal mula munculnya Akattere’ di Kajang merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW (Papinahanggan ri nabi ta). Hal ini bermula dari Kasalanggang yang dikenal dengan Bohe’ Sallang yang menyampaikan kepada Amma’toa bahwa terdapat papinahanggan ri nabi ta yang penting untuk dilakukan, yaitu Akattere’ yang biasanya dikenal (diluar kajang) dengan Aqiqah.
Kami tak luput dari penuturan beliau, sesekali kami mengirup aroma kopi hitam yang disuguhkan kepada kami dengan “dumpi eja” atau kue merah yang menjadi kue tradisional khas suku Kajang.
Umumnya mengunting tujuh helai rambut anak yang kemudian dimasukkan kedalam batok kelapa muda. Namun, dalam suku Kajang di penyembelihan kerbau menjadi penting hal ini dikarenakan terdapat banyak masyarakat yang akan berbodong-bodong dalam membantu jalannya ritual tersebut. Yang kemudian akan dihadiri oleh ada’ lima kareng tallu yang merupakan pemangku adat yang diutus oleh Ammatoa dengan tugas-tugas yang diamanahkan Ammatoa.
Ada’ lima terdiri dari lima orang Gallarang atau yang diangkat jadi pemimpin yang sangat dipangngaliki’ (disegani dan dihormati) oleh masyarakat.
- Galla Pantama memiliki tugas dibidang pertanian yaitu menentukan waktu dimulainya melakukan penanaman dengan, melihat tanda-tanda.
- Galla Lombo’ memiliki tugas sebagai penghubung antara Ammatoa dengan pihak luar.
- Galla Kajang bertugas menangani perkara penghinaan terhadap pasang.
- Galla Puto’ bertugas sebagai juru bicara Ammatoa.
- Galla Malleleng, bertugas dibidang perikanan dan kelautan.
Ada empat masalah yang ditangani secara langsung oleh Ada’ lima yakni, Tabbang Kaju, Tunu Bani, Rao Doang, Tatta Uhe adalah istilah yang berarti menebang kayu, membakar atau mengambil lebah, menangkap ikan atau udang, dan mengambil atau memotong rotan.
Karaeng tallu, merupakan salah satu pemangku adat yang terdiri dari tiga orang yakni;
- Karaeng Kajang (Labbiria)
- Sulehatang
- Moncong Buloa
Karaeng tallu memiliki tugas Pokok yang disebut Appa’ solo ri Karaengia (ada empat perkara yang ditangani langsung oleh Karaeng tallu): Tuttu’, Lahan, Rappa, Tunu Bola (penghinaan, persinahan yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami, perampokan/pencurian, pengrusakan/pembakaran rumah).
Ritual akattere’ ini menghabiskan minimal 3.147 liter berasa pulu’ le’leng (beras ketan hitam) yang dijadikan songkolo (songkol). Dan berasa kale (beras biasa) minimal 200 liter yang akan dimasak sebagai jamuan untuk para masyarakat yang akan menghadiri ritual tersebut. Dan wajib daging kerbau yang sajikan bagi pemangku adat dan pemerintah setempat.
Terdapat berbagai perlengkapan hingga persiapan yang harus disiapkan sebelum ritual akattere’ ini dilaksanakan.
- Tabere yaitu tempat berlangsungnya orang akkattere. Tabere yang dibentuk persegi oleh empat bambu
- Baju bodo yaitu baju yang dipakai oleh anak yang nikattere (dipotong rambutnya)
- Songkolo yaitu beras ketan hitam yang sudah dikukus
- Daging kerbau yang menjadi lauk pauk bagi pemangku adat dan pemerintah setempat
- Tolong yaitu dumpi eja khas Kajang yang dibungkus dengan daun pisang
- Baku’ yaitu wadah penyimpanan songkolo
- Tope le’leng yang dipakai oleh anak yang mau nikattere
- Berang Buru’ne (parang untuk laki-laki) yaitu badik dan berang bahine (parang untuk perempuan) yaitu pisau yang biasa dipakai perempuan Tanah Towa untuk dipakai memotong rambut, jika laki-laki maka parang yang dipakai adalah badik dan jika perempuan maka parang yang dipakai adalah pisau
- Pandingingi yaitu air dan daun tertentu yang berada dalam piring besar. Media yang diapakai oleh pemangku adat untuk memercikkan air kepada anak yang nikattere
- Kelapa muda yang sudah dibelah dua sebagai wadah rambut yang nikattere
- Kamboti yaitu wadah untuk dallekang (hadapan) yang akan diberikan kepada pemangku adat yang telah menghadiri acara
- Kain putih yaitu penutup pada saat orang nikatto salahi’ (diputus kalungnya)
- Kanjoli yaitu lampu yang terbuat dari daging kemiri yang ditumbuk halus dengan kapuk dan ditempelkan pada rautan bambu
- Bedak dan minyak digunakan untuk ditempelkan di dahi dan pangkal leher
- Pakkapi’ yaitu digunakan sebagai kipas pemangku adat dan penutup songkolo.
Pada sore itu, menjelang acara kami menyaksikan anak-anak yang akan nikattere’ dimandikan oleh uragi. Hal ini biasanya suku Kajang sebut dengan paje’neki (memandikan). Setelah dimandikan anak-anak yang akan nikattere’ dikalungkan benang putih yang disebut ganti. Ritual merupakan ritual pertama yang disebut dengan apparunrungi (pemasangan). Niparungrungi-nya anak-anak yang akan nikattere’ tersebut menjadi simbol bahwa manusia selalu memiliki keterikatan kepada pencipta-Nya sehingga anak yang nikattere’ selalu mengingat kepada Tuhannya dan selalu berbuat baik dalam hidupnya.
Sore berganti malam, sulo-sulo (pelita) mulai memancarkan cahaya disetiap sudut rumah. Dan para tamu undangan dan pemangku adat mulai berdatangan. Kemudian pemilik rumah akan menyambut pemangku adat dan pemerintah dengan talang (wadah seperti piring) ditangannya yang berisikan kalomping (daun sirih yang dilipat) dengan pinang. Ritual ini disebut sebagai nihuai (disambut).
Menurut TP, pemangku adat yang akan menghadiri ritual akattere’ tersebut sebanyak 26 orang, temasuk ada’ lima karaeng tallu. Yang kemudian pemangku adat ini akan dihibur dengan kelong jaga (nyanyian pesta) yang diiringi dengan palingoro (gendang) yang dimaikan oleh dua orang yang saling berhadapan. Dalam kelong jaga ini para pemangku adat dan tamu undangan akan bernyanyi bersama dibagian bait tertentu yang kemudia diulangi hingga kelong jaga tersebut selesai.
Setelah kelong jaga selesai, para pemangku adat dan tamu undangan akan dijamu. Uniknya, kerjasama masyarakat yang menghadiri ritual tersebut terbilang sangat baik, dimana orang-orang akan berjejer secara vertikal untuk mengantarkan makanan sampai dihadapan para pemangku adat dan tamu undangan.
Ritual selanjutnya, dimulai ketika uragi memasuki tabere diikuti dengan anak-anak yang akan nikattere’. Uragi membacakan mantra yang kemudian memberikan bedak kepada anak-anak yang akan nikattere’. Kemudian dilanjutkan dengan memercikkan air dengan air kepada anak yang nikattere’. Anak yang akan nikattere’, tau a’riha (orang yang memangku) dan uragi kemudian ditutup kain putih. Dalam ritual ini kalung dari benang putih yang dikalungkan pada anak yang nikattere’ kemudian dipotong oleh uragi. Ritual ini disebut dengan akkatto salahi (memotong kalung).
Umumnya ritual ini berjalan selama ± 7 hari lamanya. Puncak ritual ini disebut akattere’ yang dilakukan setelah akkatto salahi telah selesai dilakukan. Pada ritual ini setiap pemangku adat mendapatkan giliran untuk memotong rambut anak yang nikattere’. Diketahui pemotongan rambut pada anak yang nikattere’ dengan jumlah ganjil (tiga, lima, atau tujuh helai) lalu pemangku adat akan memotong dengan badik bagi anak laki-laki dan berang bahine untuk perempuan.
Setelah pemotongan rambut selesai, maka diadakan a’dedde songkolo atau membentuk songkol diatas piring berbentuk gunung dengan tinggi ± 20-25 cm. Kegiatan ini dilakukan oleh para perempuan, dedde yang telah dibentuk ditambahkan daging dan dumpi eja atau kue merah yang dibungkus dengan daun pisang kemudian diletakkan dihadapan para pemangku adat masing-masing.
Uniknya ritual akattere’ ini tidak semua suku Kajang dapat melakukan ritual tersebut hanya keturunan dari Ammatoa dan Karaeng.
Ritual ini diyakini bertujuan untuk membawa keselamatan, dimana orang yang telah nikattere’ tidak dibolehkan berbicara yang tidak benar dan berperilaku yang menrugikan orang lain. Ritual ini juga diyakini bernilai sangat tinggi karena menjadi bentuk mensucikan diri dari hal-hal yang tidak baik dengan adanya penjanjian adat yang dilaksanakan dengan kepercayaan terhadap Tu Riek Akrana.